Breaking News

Kitab Gundul Andalan Pesantren


Tidak semua orang dapat membaca kitab kuning. Terkadang, tanpa memahami nahwu dan sharaf, ada yang mengartikan kitab dengan seenaknya.


Senyum manis dua gadis merekah setelah memahami maksud dari bacaan kitab gundul yang dipelajarinya. Maklum, di era sekarang, orang yang bisa membaca kitab kuning, gundul tanpa harakat, sudah semakin jarang. Terlebih, membaca kitab gundul banyak diajarkan di pondok-pondok pesantren.

Dua gadis itu adalah Khaula Zulfa Yusuf dan Alfina Tahta Afrik Rozana. Dulu, Zulfa pernah mondok di Pesantren Al-Yasini di Pasuruan. Sementara, Tata pernah menimba ilmu di Pesantren Al Huda, Sragi, Banyuwangi. Kini, keduanya merupakan mahasiswa UIN KHAS Jember dan tetap intens belajar kitab gundul.

Zulfa menjelaskan, untuk dapat membaca kitab kuning perlu melewati beberapa tahap. "Untuk dasar biasanya menghafalkan kosakata bahasa Arab," ujarnya sambil menunjukkan kitabnya.

Dikatakan, meski sudah tidak mondok seperti dulu, dia tetap belajar agar tetap bisa membaca kitab gundul. Baginya, santri adalah sebutan selamanya bagi seseorang yang menimba ilmu agama, baik di pesantren maupun di tempat lain. Untuk itu, dia tetap ingin ilmu membaca kitab kuning tidak hilang. "Tidak ada yang namanya mantan santri," ujarnya.

Zulfa mengaku, setiap hari dia menyempatkan diri untuk tetap belajar dan membaca kitab kuning. Sebab, dalam kitab tersebut terdapat beberapa ilmu yang diterapkan sehari-hari. "Paling umum itu tentang fikih," katanya.

Dikatakan, setelah punya bekal kosakata bahasa Arab, ada tahapan untuk selanjutnya. Yaitu menguasai ilmu nahwu dan ilmu sharaf. Nah, untuk memahami nahwu dan sharaf, butuh belajar yang giat. Apabila memahaminya, maka santri atau siapa saja akan dapat membaca kitab gundul.

Era sekarang ini, tidak semua orang dapat membaca kitab kuning. Terkadang, tanpa memahami nahwu dan sharaf, ada yang mengartikan kitab dengan seenaknya. Hal inilah yang perlu dijaga agar orang tidak sembarangan mengartikan makna dalam bacaan kitab, termasuk makna dari kitab Alquran.

Menurut Tata, kitab kuning memiliki referensi yang detail dan sumbernya dari ulama. "Nasab (silsilah, Red) dan sumbernya nyambung kepada Rasulullah SAW," terangnya. Dikatakan, tidak semua santri bisa membaca kitab kuning atau kitab gundul. Bahkan, santri yang sudah lama di pesantren juga banyak yang tidak bisa membacanya. "Terkadang mereka hanya mengejar sekolah umum saja," jelasnya.

Bertepatan dengan Hari Santri ini, Tata maupun temannya berharap agar para santri maupun alumninya di mana pun bisa tetap mendalami ilmu kitab kuning. Apalagi, di era sekarang yang serba digital sangat rawan diubah atau dibolak-balik oleh orang yang tidak paham agama dan tidak bisa membaca kitab kuning. (mg5/c2/nur)

Type and hit Enter to search

Close